AGLOMERASI PKL : PARADIGMA BARU PENGEMBANGAN SEKTOR INFORMAL DI KOTA BESAR
Studi Kasus : Kota
Bandung
PENDAHULUAN
Dinamika kependudukan diberbagai kota
besar seperti Surabaya, Bandung, dan Jakarta sudah terlalu pelik , ditambah dengan
adanya arus urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) yang membuat
jumlah penduduk di kota besar menjadi semakin membludak. Pembludakan penduduk tersebut telah menjadi
suatu masalah bagi kota-kota tersebut, diantaranya adalah meningkatnya jumlah
kejahatan, banyaknya pengangguran dan terciptanya pemukiman kumuh yang ada di
pusat kota, hal tersebur menyebabkan terjadinya sebuah hambatan pembangunan. Namun hal ini sedikit
berbeda untuk Kota Bandung, kota Bandung mampu mengendalikan dampat buruk dari
adanya arus urbanisasi dan mampu mengelola keseluruhan sektor yang ada untuk
pembangunan yang berkelanjutan, termasuk diantaranya adalah sektor informal.
Sektor informal di kota Bandung
pertumbuhannya sangat pesat, dan sektor ini juga sudah mampu untuk memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi kota Bandung. Pada tahun 2013 sektor
informal dan khususnya Pedagang Kaki Lima (PKL) jumlahnya mencapai 20.326 Hal ini mengindikasikan bahwa
pengelolaan sektor informal di kota bandung dapat dikatakan perkembangannya
pesat dan membiutuhkan strategi pengembangan.(Ayobandung : 2015)
Fenomena model
pengembangan sektor informal yang saat ini terjadi adalah upaya pengelompokak
sektor informal pada sebuah wilayah di dekat pusat keramaian, hal ini bisa
dilihat dengan mulai banyaknya bermunculan pusat jajanan selera rakyat
(pujasera), atau pusat oleh oleh khas suatu wilayah, dan sentra sentra sektor
informal lainnya, dengan adanya upaya untuk mengelompokan sektor informal maka
hal ini menimbulkan 2 manfaat secara langsung bagi pembangunan ekonomi di suatu
daerah, manfaat pertama adalah tertipnya tata ruang kota dan yang kedua adalah
meningkatnya aktivitas ekonomi secara simultan di daerah tersebut.
Pemerintah
Kota bandung, bandung telah mengeluarkan peraturan daerah nomor 11 tahun 2005
dan nomor 4 tahun 2011, kedua regulasi tersebut mengatur zona merah dan zona
hijau bagi pedagang kaki lima (sektor informal), dimana zona merah merupakan
zona larangan adanya pedagang kaki lima dan interaksi perdagangan, dan zona
hijau adalau zona bebas pedagang kaki lima dalam transaksi jual beli. Selain
itu juga munculnya regulasi untuk memberlakukan denda Rp 1.000.000 kepada warga
yang membeli di zona merah. Regulasi tersebut secara tidak langsung akan
mengarahkan PKL untuk melakukan transaksi perdagangan pada area yang disediakan
oleh pemerintah kota (aglomerasi), dan selanjutnya area tersebut akan menjadi
area sentra PKl dan pusat jajanan ataupun pusat oleh oleh khas bandung. Area
tersebut akan berkembang dan berkontribusi terhadap perekonomian bandung tanpa
harus menganggu ketertipan tata ruang kota bandung.(BBC :2014)
Berdasarkan
dari pemaparan diatas, maka penulis merasa aglomerasi atau pengelompokan sektor
industry pada suatu area tertentu ditrasa sangat penting dan perlu dilakukan
analisis dan pengkajian mendalam, oleh karena itu penulis tertarik untuk
membuat sebuah artikel yang berjudul “Aglomerasi PKL : Paradigma BaruPengembangan Sektor Informasl di Kota Besar – Studi Kasus Kota Bandung”.
PEMBAHASAN
Fokus dari teori pembangunan sendiri
telah dibagi menjadi dua yaitu keberadaan sektor kapitalis perkotaan yang
berorientasi pada padat modal dan produksi skala besar serta sektor subsisten
tradisional yang berorientasi padat karya dan produksi skala kecil. Analisis
dualistik ini telah diterapkan secara spesifik diberbagai kota besar di
Indonesia untuk mencegah dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh
pembludakan jumlah penduduk yang ada dikota seperti dijelaskan di atas, yang
terbagi menjadi dua yaitu sektor formal dan sejtor Informal.
Menurut
Keith Hart Sektor formal adalah pekerjaan yang dapat diperoleh dari
keterampilan yang jarang dimiliki oleh para pendatang. Oleh karena itu, banyak
diantara para pendatang itu bekerja pada sektor Informal, sektor Informal
sendiri bisa dibagi menjadi dua, yaitu sektor informal yang sah dan tidak sah
yang mana keduanya tidak membutuhkan keterampilan tertentu. Menurut Hart,
pekerja pekerja yang berkecimpung di sektor Informal umumnya miskin, kebanyakan
berada pada usia kerja utama, berpendidikan dan berpenghasilan rendah serta memiliki
modal usaha yang rendah.
baca juga : Kemiskinan dan Upaya Pengentasannya: Dari Reformasi Hingga Modernisasi (1999-2015)Pengertian sektor informal sendiri menurut todaro adalah bagian dari perekonomian negara berkembang yang dicirikan dengan adanya usaha kecil kompetitif perorangan atau keluarga, perdagangan kelontong dan layanan remeh temeh, berorientasipadat karya, tanpa adanya hambatan masuk, sarta dengan harga faktor dan produk yang ditentukan pasar.
Sebagian pekerjaan dalam sektor
Informal diantaranya adalah pedagang asongan, pedagang kaki lima, penulis
surat, pengasah pisau, penyikat sepatu, pemulung sampah, sebagian lainnya
bekerja sebagai mekanik, tukang kayu pembantu, pengrajin kecil-kecilan. Sebagian lainnya sangat berhasil memiliki
usaha kecil yang memperkerjakan beberapa pegawai (umumnya Anggota keluara)
dengan pendapatan lebih tinggi. Sebagian bahkan akhirnya dapat memasuki sektor
formal serta kemudian terdaftar secara legal, memiliki izin usaha, dan tunduk
pada peraturan ketenagakerjaan yang ditetapkan pemerintah. Dengan perkiraan
bahwa tingkat pertumbuhan terus berlanjut sementara sektor formal pedesaan dan
perkotaan semakin tidak mampu menyerap tambahan tenaga kerja maka peranan
sektor informal akan sangat terasa.
Sektor informal akan terus memainkan
peran penting di negara-negara berkembang, sekalipun selama ini diabaikan dan bahkan
adakalanya dimusuhi. Dibanyak negara berkembang, sekitar setengah dari penduduk
perkotaan bekerja di sektor informal. Perannya diantaranya adalah akan mampunya
pekerjaan disektor informal menampung para pekerja pekerja yang tak bisa
terserap di sektor formal. Penggunaan
modal pada sektor informal relatif sedikit bila dibandingkan dengan sektor
formal sehingga cukup dengan modal sedikit dapat memeprkerjakan orang. Dengan
menyediakan akses pelatihan dan ketrampilan, sektor informal dapat memiliki
peran yang yang besar dalam pengembangan sumber daya manusia. Sektor informal
memunculkan permintaan untuk tenaga kerja semiterampil dan tidak terampil.
Sektor informal biasanya menggunakan teknologi tepat guna dan menggunakan
sumber daya local sehingga akan menciptakan efisiensi alokasi sumber daya.
Sektor informal juga sering terkait dengan pengolahan limbah atau sampah.
Sektor informal dapat memperbaiki distribusi hasil-hasil pembangunan kepada
penduduk miskin yang biasanya terkait dengan sektor informal
Walaupun
sektor informal akan selalu diperlukan namun ada banyak hal yang akan
menghambat perkembangan sektor Informal, hal-hal itu diantaranya adalah tidak
adanya sebuah undang-undang / landasan hukum yang mengatur ataupun melindungi
para pekerja pada sektor informal sehingga keselamatan para pekerja informal
menjadi taruhan, banyak kasus-kasus seperti penggusuran, operasi satpol pp,
bentrok antar pedagang kaki lima dengan petugas keamanan dan yang lainnya yang
menjadi beban untuk para pekerja yang berkecimpung di sektor Informal.
Hambatan tersebut bukanlah sebuah akhir dari proses pengembangan sektor informal, beberapa hambatan yang ada tidak berlaku di wilayah kota Bandung. Misalnya hambatan terkait regulasi atau landasan hokum, pedagang kaki lima di wilayah Kota Bandung sudah diatur melalui Peraturan daerah nomor 4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, dengan adanya regulasi ini maka pedagang kaki lima di wilayah kota bandung akan mendapatkan pelayanan penerbitan tanda pengenal, penataan dan pembinaan, perlindungan, serta fasilitas untuk mendapatkan penyediaan dan pemanfaatan sarana prasarana kegiatan sektor informal (Perda Kota Bandung Nomor 4 tahun 2011 Pasal 18).
Hambatan tersebut bukanlah sebuah akhir dari proses pengembangan sektor informal, beberapa hambatan yang ada tidak berlaku di wilayah kota Bandung. Misalnya hambatan terkait regulasi atau landasan hokum, pedagang kaki lima di wilayah Kota Bandung sudah diatur melalui Peraturan daerah nomor 4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, dengan adanya regulasi ini maka pedagang kaki lima di wilayah kota bandung akan mendapatkan pelayanan penerbitan tanda pengenal, penataan dan pembinaan, perlindungan, serta fasilitas untuk mendapatkan penyediaan dan pemanfaatan sarana prasarana kegiatan sektor informal (Perda Kota Bandung Nomor 4 tahun 2011 Pasal 18).
Namun dalam regulasi tersebut tidak hanya mengatur mengenai hak yang didaptkan
oleh pedagang kaki lima, PKL juga diwajibkan untuk Mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku, Memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan, dan kesehatan
lingkungan, Menempatkan dan menata barang dagangan dan peralatannya dengan tertib
dan teratur serta tidak mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum, Mencegah
kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran, Menempati sendiri tempat berdagangnya
sesuai peruntukannya, Menyerahkan tempat berdagang tanpa menuntut ganti rugi
berupa apapun, apabila sewaktu-waktu dibutuhkan Pemerintah Daerah, Membayar
biaya jasa pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan. (Perda Kota Bandung Nomor 4 tahun 2011 Pasal
19).
Pedagang Kaki Lima juga dilarang Melakukan
kegiatan berdagang di zona merah, Melakukan kegiatan berdagang di jalan,
trotoar, ruang terbuka hijau, dan fasilitas umum, kecuali lokasi tersebut telah
ditetapkan/ditunjuk/diizinkan oleh Walikota, Melakukan kegiatan berdagang
dengan mendirikan tempat yang bersifat semi permanen dan/atau permanen, Melakukan
kegiatan berdagang yang mengakibatkan kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan,
dan kenyamanan terganggu, Menggunakan lahan yang melebihi ketentuan yang telah
diizinkan oleh Walikota, Berpindah tempat dan/atau memindahtangankan tanda
pengenal tanpa sepengetahuan/persetujuan tertulis dari Walikota, Menelantarkan
dan/atau membiarkan kosong tempat berdagang/lahannya selama 14 (empat belas)
hari, Menggunakan tempat berdagang/lahan lebih dari satu lapak, Membuang sampah
dan limbah di sembarang tempat yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup dan penyumbatan di saluran pembuangan air (drainase), Menggunakan tempat
berdagang untuk kegiatan-kegiatan yang dilarang/bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Meninggalkan/menyimpan tempat dan barang dagangan
pada kawasan/tempat berdagang setelah selesai berdagang, Menjual barang
dagangan yang merugikan, membahayakan bagi konsumen yang dilarang oleh
peraturan perundang-perundangan. (Perda Kota Bandung Nomor 4 tahun 2011 Pasal
20).
Dengan adanya regulasi yang mengaur pedagang kaki lima
tersebut maka mulai banyak tumbuh sentra sentra PKL dan pusat jajanan selera
rakyat di Kota Bandung, beberapa pusat jajanan selera rakyat (pujasera) di Kota
Bandung adalah pujasera Merdek, pujasera 46, pujasera 47 Bandung, Pujasera
Burangrang dan masih banyak lagi, selain mulai berkembangnya pusat jajanan
selera rakyat di kota Bandung, pemerintah kota Bandung juga berhasil membangun
pusat PKL, diantara lokasi tersebut adalah pasar kota kembang, di daerah taman
Cilaki dan kini berkembang menjadi obyek wisata kuliner, serta perbaika pasar
loak Cihapit.
Pengembangan sektor informal yang dalam hal ini adalah
pedagang kaki lima di kota bandung tidak hanya berjalan sesuai dengan rencana
pengembangan, pengembangan pedagang kaki lima juga mengalami pengaruh buruk
beberapa dampak buruk tersebut adalah masih adanya PKL yang berjualan di
trotoar dan bahkan sampai meluber ke ruas jalan kota, dan hal ini berada di
wilayah Perempatan Soekarno-Hatta-Terminal Leuwipanjang, Jalan AH Nasution
(depan Pasar Ujungberung), Jalan Dewi Sartika, Jalan Astanaanyar, Jalan Otista,
Sekitar Simpang Dago, dan masih banyak lagi.(Okezone:2013)
Dari beberapa pemaparan diatas maka secara sederhana
kita dapat menganalisis regulasi peraturan daerah kota Bandung Nomor 4 tahun
2011, secara ringkas peraturan tersebut memberikan ruang gerak untuk penataan
dan penertiban PKLsekaligus juga memberikan wadah pengembangan sektor informal
tersebuit, namun disisi lain karena jumlah PKL yang banyak dan informasi yang
kurang maka tidak sedikit PKL yang melanggar aturan dan berjualan di zona
merah.
Menindak lanjuti paradigma baru pengembangan sektor
informal yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima di kota besar atau kota
metropolitan seperti kota bandung dengan model aglomerasi atau pengelompokan
pedagang kaki lima pada zona hijau, maka penulis mencoba untuk melihat beberapa
keuntungan dan kerugiannya ;
Keuntungan dengan adanya pengelompokan (aglomerasi) pedagang kaki lima
pada zona hijau :
- Menciptakan ketertipan pada tata ruang kota bandung.
- Menciptakan nuansa bersih, indah dan hijau di setiap penjuru kota bandung.
- Kemudahan dalam pengembangan dan pengelolaan pedagang kaki lima sekaligus juga bermanfaat dalam pengembangan sektor ekonomi di kota Bandung.
Kerugian dengan adanya pengelompokan (aglomerasi) pedagang kaki lima
pada zona hijau :
- Membatasi ruang gerak pedagang kaki lima.
- Menurunkan pendapatan pedagang kaki lima ketika zona hijau yang disediakan bukan merupakan lokasi keramaian.
Sehingga secara keseluruan, dari hasil analisis sederhana dari paradigm
baru pengembangan sektor informal di kota bandung, maka penulis mencoba untuk
memberikan sebuah rekomendasi kebijakan pengembangan sektor informal di kota
bandung, rekomendasi tersebut adalah :
- Melakukan pendaftaran ulang zona hijau, zona kuning dan zona merah dengan landasan penelitian yang mendalam terkait lokasi strategis dalam pengembangan usaha dengan menggunakan analisis SWOT.
- Melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada pedagang kaki lima sehingga pada nantinya mereka akan dapat mengembangkan usahanya dan melegalkan usahanya, dengan legalnya usaha mereka maka secara langsung mereka dapat membantuk perekonomian kota Bandung dari pajak yang mereka bayarkan.
- Menciptakan jaringan usaha pedagang kaki lima dengan menghubungkan setiap sentra PKL yang ada atau mengkoneksikan pusat aglomerasi di kotabandung, hal ini dimaksudkan agar jaringan usaha pedagang kaki lima akan berkembang dan munculnya efektifitas dan efisiensi usaha.
- Memberikan sebuah ajang pemasaran bagi sektor informal seperti pedagang kaki lima misalnya saja menyelenggarakan pameran produk pedagang kaki lima, hal ini untuk memicu dan memotivasi pedagang kaki lima dalam mengembangkan usahanya.
- Melakukan kerjasama yang intensif dengan mensinergikan antara pengusaha besar, koperasi dan pedagang kaki lima.
Keseluruan rekomendasi ini bisa diterapkan oleh
pemerintah kota Bandung dan diharapkan mampu mengembangkan sektor informal yang
dalam hal ini adalah pedagang kaki lima agar mampu menjadi motor utama ekonomi
kerakyata bandung yang menyumbang kontribusi terbesar terhadap pembangunan Kota
Bandung.
PENUTUP
Kondisi pedagang dikota Bandung dapat dikatakan baik karena sudah ada
regulasi yang jelas yang mengatur pengembangan sektor ini, yaitu regulasi nomor
4 tahun 2011, dengan adanya regulasi ini maka pengelompokan pedagang kaki lima
kedalam zona hijau sangatlah bagus karena dengan adanya aglomerasi (pengelompokan)
ini maka ketertipan, kebersihan dan keindahan tata ruang kota bandung akan
tercipta dan akan terbentuk kemudahan pengelolaan pedagang kaki lima. Selain
itu juga akan meningkatkan pendapatan pedagang kaki lima yang tentunya akan
meningkatkan pembangunan ekonomi kota bandung, beberapa rekomendai kebijakan
yang bisa diterapkan oleh pemerintah kota Bandung untuk mengembang kan sektor
ini adalah pendaftaran ulang zona hijau berdasarkan hasil penelitian, pembinaan
pedagang kaki lima, penciptaan jaringan usaha antar sentra PKL,
menyelenggarakan pameran pedagang kaki lima dan menciptakan sinergo antara
perusahaan besar, koperasi dan pedagang kaki lima.
Daftar Pustaka
Chahyati,Yatti.2015. Mengkhawatirkan,
Jumlah PKL Bandung Melebihi Pedagang Formal.
(online) http://ayobandung.com/read/20150714/59/786/
mengkhawatirkan-jumlah-pkl-bandung-melebihi-pedagang-formal diakses 01 Desember 2015.
BBC.2014. Denda pembeli PKL larangan Bandung dipuji. (online) http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/02/140202_dendapklbandung-majalahlain
diakses 01 desember 2015.
Maulana, Firkan.2015. Memberdayakan Pedagang Kaki Lima di Bandung. (online) http://storyofthepack.com/memberdayakan-pedagang-kaki-lima-di-bandung/ diakses 01 Desember 2015.
0 Comments
Silahkan Berkomentar Dengan Sopan. Anda Sopan Kami Segan.