BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peraturan terkait otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu kepada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Dan UU yang terakhir terdapat dalam UU No. 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara resmi pelaksanaan desentralisasi fiskal di era reformasi dimulai sejak 1 Januari 2001.
Presiden Jokowi menjelaskan dalam sidang paripurna DPR RI yang menjelaskan tentang RUU APBN dan Nota Keuangan 2019, bahwa belanja negara 2019 akan diarahkan salah satunya pada upaya penguatan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan perencanaan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2019 sebesar Rp832,3 triliun. Transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Otoritas Khusus.
Dengan adanya dana alokasi yang begitu besarnya menunjukan bahwa pemerintah telah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah daerah untuk bisa mandiri dalam menjalankan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya di dalam semua bidang kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta keagamaan.
Namun kenyataan nya kondisi yang diharapkan ternyata berbanding terbalik. Yang mana tadinya diharapkan agar pemerintah daerah bisa mandiri dalam mengurus daerahnya sendiri ternyata malah membuat daerah ketergantungan kepada dana dari pemerintah pusat. Ketergantungan daerah terhadap TKDD masih sangat tinggi. Secara rata-rata nasional, ketergantungan APBD terhadap TKDD sebesar 80,1%. Sementara, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berjumlah sekitar 12,87%. Kab/kota adalah titik berat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang mana telah dijelaskan didalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tapi justru ketergantungan fiskalnya jauh lebih parah.
Dalam riset empiris Bank Dunia (2001) menunjukkan bahwa pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan PAD daripada anggaran yang diterima dari pemerintah pusat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka akan memunculkan rumusan masalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal?
- Apakah otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah efektif?
- Bagaimana Impelementasi desentralisasi fiksal di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pennelitian dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
- Memahami apa itu desentralisasi fiskal.
- Melihat dan memahami apakah otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah efektif.
- Menjelaskan Impelementasi desentralisasi fiksal di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Desentralisasi fiskal merupakan sebuah instrument untuk mencapai pelayanan publik yang lebih baik untuk memudahkan pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
Macfud Sidik (2001), desentralisasi fiskal adalah suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan negara, terutama dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Saragih (2003:83) desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.
Tujuan umum dari desentralisasi fiskal di Indonesia sendiri menurut Robert Simanjuntak (2002) adalah untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan daerah, mendorong akuntabilitas, dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat dala proses pembangunan daerah, mengurangi krtimpangan antar daerah, menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Namun, ada beberapa keunggulan dan kelemahan dari desentraslisasi fiskal antara lain:
Keunggulan desentralisasi fiskal
Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih mudah disesuaikan dengan melihat struktur dan kebutuhan masyarakat daerah tersebut dengan tingkat akuntabilitas dan kemauan bayar yang lebih tinggi, sehingga memunculkan efisiensi ekonomi. Dan juga daerah memiliki peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah
Kelemahan desentralisasi fiskal
Lemahnya pengawasan terhadap rencana anggaran pemerintah daerah menyebabkan transfer dana yang diberikan pemerintah pusat tidak efisien dan akhirnya menimbulkan ketergantungan. Adapun beberapa kelemahan dalam desentralisasi fiskal, yaitu :
- Lemahnya kontrol dari pemerintah pusat terhadap ekonomi makro
- Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi
- Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan
- Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat
- Adanya kegagalan memperbaiki pelayanan daerah kepada masyarakat
- Instabilitas Nasional
- Pengeluaran yang lebih besar dari sumber-sumber yang tersedia sehingga: (1) Turunnya tinggkat pelayanan umum (2) Daerah meminta atau menjaminpada penerimaan pusat
- Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.
- Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.
- Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.
Sumber Keuangan Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pemerintah daerah memiliki hak untuk menggali potensi penerimaan dan juga memiliki wewenang untuk memungut pajak dan retribusi daerah yang sudah dijelaskan dalam UU No. 18 Tahun 1997 dan di perbarui dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Maka dari itu, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi.
2. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah bentuk bagi hasil penerimaan daerah yang tujuannya untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). Ini adalah kompensasi dan sebagai penyelaras bagi daerah yang tidak memiliki SDA namun tetap mampu memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan Negara.
a) Dana Alokasi Umum (DAU)
Adanya dana alokasi umum ditujukan untuk mengatasi ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan menggunakan kebijakan DAU minimal 25% dari penerimaan dalam negeri. Menurut UU No. 25 Tahun 1999, DAU suatu daerah ditentukan dengan pendekatan fiskal gap dimana DAU suatu daerah di ukur dengan membandingkan kebutuhan fiskal suatu daerah dengan potensi daerah tersebut. Sehingga DAU akan lebih kecil diberikan untuk daerah yang hanya memiliki kemampuan realtif besar.
Kebutuhan daerah dapat dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, keadaan geografis, dan tingkat pendapatan masyarakat dan dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sedangkan potensi daerah dilihat dari penerimaan daerah seperti potensi SDA, SDM, industri, dan PDRB.
b) Dana Alokasi Khusus
UU No. 25 Tahun 1999 menjelaskan bahwa BAK merupakan dana dari pemerintah pusat yang dialokasikan ke daerah untuk kebutuhan khusus, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang tidak dapat dialokasikan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain. Dan kebutuhan yang merupakan prioritas atau komitmen nasional
c) Pinjaman daerah
Daerah dapat melakukan pinjaman dari dalam negeri maupun dari luar negeri dengan persetujuan Pusat dan ditujukan untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat memberikan benefit (pengeluaran modal),
2.2 Kefektifan Desentralisasi Fiskal
Seperti yang dijelaskan di laman pendahuluan bahwa dengan adanya desentralisasi fiskal di Indonesia, daerah-daerah malah mengalami ketergantungan kepada dana dari pemerintah pusat yang masih cukup tinggi. Secara rata-rata nasional, ketergantungan APBD terhadap TKDD sebesar 80,1%. Sementara, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berjumlah sekitar 12,87%. Ada beberapa yang mungkin menyebabkan terjadinya ketergantungan daerah terhadap pemerintah sebagai berikut:
1. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan
Semua pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pemerintah pusat bukan nya oleh pemerintah daerah. Sedangkan perusahaan banyak tersebar di daerah-daerah di Indonesia dan transaksi penjualan juga banyak terjadi di daerah.
Pemerintah daerah dibatasi ruangnya untuk menghasilkan sumber penerimaan dan atau untuk memperluas basis penerimaan, daerah hanya bolek melakukan sesuai yang tercantum dalam UU No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak daerah sebenarnya memiliki jumlah yang cukup beragam, namun hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan, contohnya adalah Pajak Hotel dan Pajak Restoran. Maka dari itu, perlu adanya perbaikan kebijakan terkait bidang pendapatan daerah yang harmonis antara pajak dan retribusi daerah dengan pajak pusat agar pendapatan daerah bisa lebih maksimal.
2. Perusahaan daerah kurang berperan sebagai sumber pendapatan daerah.
Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya diimiliki oleh Pemerintah Daerah seperti yang tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimaksud dengan. Sedangkan tujuan utama dalam pendirian perusahaan daerah adalah untuk mencari laba untuk dana pembangunan daerah. Kinerja perusahaan daerah yang kurang memadai dan adanya daya saing yang kompetitif mungkin adalah salah satu hal yang dapat menghambat pendapatan daerah. Maka pemerintah daerah perlu melakukan analisis kinerja, mengeluarkan kebijakan yang kondusif dan melakukan monitoring & evaluasi sehingga perusahaan dapat berkembang mengikuti kondisi ekonomi yang ada saat ini dan mampu meningkatkan daya saing.
3. Antar pemerintah daerah masih ada yang bersaing
Tidak jarang ada beberapa daerah yang saling bersaing dalam ekonomi, persaingan ini muncul dari persaingan pajak antar daerah sebagai sumber penghasilan asli daerah masing-masing. Akibatnya terjadi pemotongan pajak lokal secara sepihak oleh suatu daerah unutk menarik investor yang akhirnya akan diikuti oleh daerah lain untuk menyeimbangkan pajak agar mereka tidak kehilangan investor. Persaingan ini akan menyebabkan PAD menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Desentralisasi Fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.
- Tujuan desentralisasi fiskal secara adalah untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan daerah, mendorong akuntabilitas, dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat dala proses pembangunan daerah, mengurangi krtimpangan antar daerah, menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.
- Ketergantungan daerah terhadap TKDD masih sangat tinggi, rata-rata nasional ketergantungan APBD terhadap TKDD sebesar 80,1%. Sementara, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berjumlah sekitar 12,87%.
- Penyebab tidak efisien nya desentralisasi fiskal adalah tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, perusahaan daerah kurang berperan sebagai sumber pendapatan daerah dan adanay persaingan antar pemerintah daerah.
3.2 Saran
- Perlu adanya perbaikan kebijakan terkait pendapatan daerah yang harmonis antara pajak dan retribusi daerah dengan pajak pusat agar pendapatan daerah bisa lebih maksimal.
- Pemerintah daerah perlu melakukan analisis kinerja, mengeluarkan kebijakan yang kondusif dan melakukan monitoring & evaluasi sehingga perusahaan dapat berkembang mengikuti kondisi ekonomi yang ada saat ini dan mampu meningkatkan daya saing.
- Pemerintah pusat perlu membut dan menetapkan kebijakan standar tarif pajak daerah agar tidak terjadi pemotongan pajak lokal secara sepihak
3.3 Daftar Pustaka
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/ketergantungan-fiskal-daerah-dalam-pelaksanaan-desentralisasi-fiskal-di-indonesia/ di akses Senin, 18 Mei 2020
Machfud Siddik – Kebijakan, Implementasi, dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Mungkasa, Oswar. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia: Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan.
Susanto Hermawan, 2014. Implementasi Desentralisasi fiskal di Indonesia (Secara Umum).Universitas Indonesia. Jakarta.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
0 Comments
Silahkan Berkomentar Dengan Sopan. Anda Sopan Kami Segan.